UPACARA NYADRAN ANTARA PRO DAN KONTRA

Oleh : Umar Ali Tofan dan Haqi Hudanallah (Murid SMA Rifa’iyah Rowosari Kendal)

PENDAHULUAN

<A. Latar Belakang

Kebudayaan merupakan elemen yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia. Di satu sisi, manusia mencipta budaya, namun di sisi lain, manusia merupakan produk dari budaya tempat dia hidup Hubungan saling pengaruh ini merupakan salah satu bukti bahwa manusia tidak mungkin hidup tanpa budaya, betapapun primitifnya. Kehidupan berbudaya merupakan ciri khas manusia dan akan terus hidup melintasi alur zaman. Sebagai warisan nenek moyang, kebudayaan membentuk kebiasaan hidup sehari-hari yang diwariskan turun-temurun. Ia tumbuh dan berkembang dalam kehidupan manusia dan hampir selalu mengalami proses penciptaan kembali.

Di era globalisasi dan modernisasi seperti sekarang ini, kehidupan manusia pun semakin beragam. Seiring dengan itu, budaya terus-menerus mempengaruhi dan dipengaruhi oleh perkembangan pola pikir dan cara bertindak manusia dalam kehidupannya. Perkembangan
budaya ada yang berlangsung cepat (revolusi kebudayaan) dan ada pula yang berkembang perlahan (evolusi kebudayaan). Perkembangan budaya jenis yang kedua ini atau yang bersifat evolutif hampir tidak bisa dirasakan gerak pertumbuhannya sebab berlangsung lama. Ia seakan-akan hadir dan membekas dalam diri manusia tanpa dirasakan oleh yang bersangkutan, baik secara individu (person) maupun kelompok (kolektif).Meski demikian, satu kenyataan yang pasti adalah kebudayaan terus dan akan menggiring atau digiring oleh manusia menuju tingkat peradaban yang lebih maju.

Di Indonesia ada beragam kebudayaan, salah satunya adalah upacara nyadran. Nyadran menjadi rutinitas sebagian besar masyarakat Jawa setiap tahun pada bulan dan hari yang telah ditentukan. Upacara ini merupakan penghormatan kepada leluhur dan bisa juga menjadi bentuk syukuran massal. Di wilayah Jawa pedalaman, nyadran lazim digelar di pemakaman menjelang bulan puasa (Syaban), sedangkan di Jawa
pesisiran dilakukan di pantai pad Jumadil Awal (tahun 2009 jatuh pada April). Acara ini menciptakan ciri khas kebudayaan pesisir pantai dan mempunyai daya tarik tertentu yang masyur di masyarakat.

Tulisan ini merupakan hasil dari penelitian lapangan tentang upacara nyadran di pantai utara Jawa Tengah, tepatnya di di Desa Gempolsewu, Kecamatan Rowosari, Kabupaten Kendal.

B.Permasalahan

Makalah ini mengangkat dua permasalahan utama, yaitu (1) bagaimana bentuk upacara nyadran di Desa Gempolsewu dan (2)mengapa tradisi rakyat yang telah dipraktikkan sejak dulu kala itu menimbulkan kontroversi.

C. Ruang Lingkup

Penelitian ini mengambil tempat di Desa Gempolsewu, Kecamatan Rowosari, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Apa yang menarik bagi penulis adalah pesta laut atau nyadran di Desa Gempolsewu terkenal
sebagai yang termeriah di sepanjang pantai utara Jawa. Perayaan itu sendiri bahkan berlangsung lebih dari seminggu dan menyedot perhatian sampai ke Jawa Barat dan Jawa Timur. Meski demikian, ada kontroversi seputar perayaan itu yang hingga kini masih mengemuka. Padahal di hampir seluruh masyarakat pantai utara, tradisi nyadran tidak menimbulkan kontroversi semacam itu. Makalah ini ditulis berdasarkan penelitian lapangan tentang ritual nyadran yang digelar pada 10-17 April 2009.

D. Tujuan Penelitian

Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui apa itu nyadran dan sejauh mana masyarakat menghayati nilai yang terkandung dari suatu tradisi kebudayaan nenek moyang. Selain itu, ingin mengetahui bagaimana pandangan dari dua kalangan keagamaan (Muhammadiyah dan NU) di Desa Gempolsewu dalam menyikapi pesta nyadran. Ini penting bagi penulis karena pengetahuan tentang kebudayaan bisa
menjadi bahan pengkajian dalam kapasitas penulis sebagai seorang santri yang akan terjun ke masyarakat.

E. Metode Penelitian

Selama penelitian, penulis menggunakan metode wawancara untuk mendapatkan data-data yang bersifat kualitatif. Kendati begitu, untuk pembahasan tertentu, penulis tetap memasukan data-data kuantitatif yang didapat dari narasumber sebagai pelengkap narasi. Ada beberapa alasan mengapa penulis menerapkan metode tersebut. Pertama, penulis mendapat gambaran berdasarkan perspektif masyarakat setempat tentang upacara nyadran. Kedua, dengan wawancara, penulis
dapat mengetahui akar masalah yang menimbulkan pro dan kontra di tengah-tengah masyarakat Desa Gempolsewu langsung dari “tangan pertama”.Dengan dua manfaat itu, dua permasalahan yang diangkat dalam makalah ini dapat terpecahkan.

F. Hipotesis

Dalam penelitian ini, penulis mengangkat hipotesis yaitu: meski merupakan tradisi yang telah berlangsung lama, upacara nyadran tetap menjadi kontroversi di kalangan masyarakat dan kelompok keagamaan.

Dikalangan muslim modernis setempat, upacara tersebut dipandang bertentangan dengan ajaran Islam, sementara bagi kelompok muslim tradisionalis nyadran bisa dipakai sebagai alat syiar Islam sehingga perlu dilestarikan.

HASIL PENELITIAN DAN BAHASAN

Nyadran atau pesta laut merupakan kebudayaan warisan nenek moyang di kawasan pesisir pantai utara Jawa. Sayang sekali, semua narasumber yang menjadi informan dalam penelitian tidak tahu secara pasti kapan nyadran pertama kali dilaksanakan di Desa Gempolsewu.
Apa yang penulis ketahui adalah bahwa ritual ini telah menjadi hajatan tahunan masyarakat setempat. Meskipun demikian, penulis berpendapat bahwa pesta laut ini merupakan tradisi dari Jaman
pra-Islam, yaitu ketika Jawa masih berada di Jaman Hindu-Buddha (Majapahit) atau bahkan sebelum itu (Mataram Kuno).

Argumentasinya adalah banyak unsur-unsur dalam upacara nyadran yang penulis amati ternyata berbau animisme dan Hindu, seperti pemberian aneka sesaji yang dihanyutkan ke laut demi mengharapkan
keselamatan dan limpahan rejeki (hasil laut). Namun dalam upacara nyadran juga terdapat unsur Islam.

Doa-doa dalam ritual inti sudah memakai Bahasa Arab, meski dicampur dengan Bahasa Jawa. Bahkan perayaan itu dimeriahkan dengan pengajian yang menghadirkan, baik ulama setempat maupun ulama dari luar daerah. Adanya unsur Islami dalam pesta rakyat ini kemungkinan besar merupakan pengaruh Islamisasi menjelang berdirinya Kerajaan Demak pada abad ke-15 M. Gabungan antara tradisi animisme, Hindu, dan Islam merupakan ciri khas dari budaya Jawa.

Walisongo dan penyebar-penyebar Islam awal memiliki peran besar dalam menyelaraskan ketiga tradisi yang berbeda itu. Desa Gempolsewu, atau lebih dikenal dengan sebutan Tawang , yang menjadi tempat penelitian merupakan sebuah desa yang langsung berbatasan dengan pantai diwilayah utara Kabupaten Kendal. Desa ini berpenduduk lebih dari 15.000 jiwa dan termasuk desa terpadat di
wilayah Kabupaten Kendal. Desa ini merupakan desa heterogen dalam komposisi masyarakatnya. Dari segi ekonomi, warga Desa Gempolsewu berprofesi sebagai nelayan, petani, pegawai negeri, dan buruh atau pegawai swasta. Dari segi keagamaan, hampir semua
memeluk Islam dengan afiliasi yang berbeda, yaitu Muhammadiah (minoritas) dan Nahdhatul Ulama atau NU (mayoritas). Dilihat dari segi afilisasi politik, komposisi mereka jauh lebih beragam. Pada pemilu legislatif 2009, sebagian besar partai peserta pemilu mendapat suara di desa ini.

Bagi masyarakat nelayan Desa Gempolsewu, upacara nyadran merupakan tradisi leluhur yang harus dilestarikan, betapun ada pihak-pihak yang menginginkan untuk dihilangkan. Bagi mereka, nyadran dianggap sebagai bentuk tasyakuran atau ungkapan rasa syukur kepada Tuhan, alam, dan penunggu laut atas limpahan rejeki yang mereka terima.Penulis mengamati bahwa pesta laut itu sendiri lebih
dari sekedar tradisi syukuran, melainkan sudah menjadi semacam perayaan pesta desa. Ada bazaar atau pasar malam dan seni-seni pertunjukan khusus didatangkan dari sejumlah wilayah Jawa Tengah, seperti wayang kulit dan orkes musik Tidak mengherankan jika setiap kali diadakan, nyadran mampu menyedot perhatian masyarakat dari luar Desa Gempolsewu, bahkan orang-orang dari luar Kendal datang berduyun-duyun menyaksikan gelaran pesta laut itu.

Bagi masyarakat nelayan setempat, perayaan nyadran sangat penting. Di samping melestarikan budaya warisan leluhur, mereka juga yakin dengan mengadakan ritual tahunan ini keselamatan dan rejeki mereka di laut akan terjamin. Jadi, acara ini mereka lakukan sebagai
bentuk syukuran bersama dan sekaligus sarana meminta perlindungan supaya mereka tetap berada dalam kondisi slamet. Nyadran dihelat dengan tata upacara tertentu sebagai syarat wajib atau inti ritual, sedangkan seni-seni pertunjukan yang ada didalamnya hanya merupakan penambahan yang disesuaikan dengan perkembangan jaman.

A. Upacara Nyadran

Dalam tradisi nyadran, syukuran yang dilengkapi dengan doa dan mantra adalah merupakan ritual inti. Ini dilakukan sebagai timbal balik mereka atas rejeki yang mereka peroleh selama ini dan harapan atas rejeki yang akan datang. Acara ritual dilaksanakan pada hari
terakhir perayaan pesta laut yaitu pada Jum’at Kliwon, 17 April 2009. Mereka bersama-sama menuju ke laut untuk melaksanakan acara ritual tahunan itu. Sebagian besar dari mereka adalah para nelayan setempat. Seluruh prosesi acara sudah terjadwal dengan rapi oleh panitia penyelenggara. Warga masyarakat yang ingin memeriahkan upacara menaiki ratusan perahu yang telah disediakan.

Sekitar pukul 9 pagi mereka berangkat ke lepas pantai dengan membawa potongan kepala sapi yang telah mereka persiapkan dengan segala macam bentuk sesaji dan hiasan yang telah dirangkai sedemikian rupa. Semuanya dihanyutkan ke laut lepas. Setelah mereka sampai dilaut, mereka memulai acara tersebut. Diawali dengan doa sebagai washilah , mereka pun melarung’ kepala sapi beserta sesaji yang telah dipersiapkan ke laut. Prosesi pelarungan diakhiri
dengan do’a penutup yang intinya adalah harapan agar semua warga memperoleh keberkahan dan rejeki di hari yang akan datang. Semua itu atas dasar rasa terima kasih mereka kepada Tuhan. Bagi penulis, ungkapan rasa syukur itu bukan hanya kepada Tuhan, melainkan kepada alam dan penunggu laut. Ini tampak jelas dari doa yang dipanjatkan dengan Bahasa Arab, Jawa dan pemberian sesaji.

Menurut para nelayan, dengan upacara nyadran mereka yakin akan mendapatkan keselamatan saat mencari nafkah di laut. Meski tampak singkat, namun penulis mendapat banyak nilai yang terkandung dalam ritual inti nyadran, selain apa yang telah disinggung di muka.
Pertama, hadirnya tokoh desa, ulama, juru kunci , para pedagang, nelayan, calon-calon legislatif, dan pejabat pemerintahan setempat menjadi tanda bahwa nyadran merupakan sarana harmonisasi. Artinya, sebuah tradisi yang bukan hanya mendamaikan antara kehidupan
jasmani dan rohani, antara dunia manusia dan dunia roh, melainkan menjadi penyelaras kehidupan politik, sosial, ekonomi, dan agama tingkat lokal. Semua menyatu dalam sebuah upacara dengan damai.

Namun penulis juga melihat adanya ”udang dibalik batu”. Bagi para calon legislatif, nyadran bisa digunakan sebagai kampanye untuk maju dalam pemilihan legislatif 2009. Bagi pejabat pemerintahan, nyadran dapat menjadi alat untuk menebar citra dihadapan rakyat. Bagi para pedagang, nyadran merupakan ajang mengais rejeki tahunan. Bagi kebanyakan warga desa, nyadran merupakan acara hiburan sebab mereka bisa menikmati berbagai macam seni pertunjukan, seperti wayang kulit, wayang golek, kethoprak, barongan, layar tancap, dan karnaval; festival-festival, seperti festival musik remaja, dan drum
band; lomba-lomba seperti lomba dayung perahu, bola volley, sepak bola, dan sayembara-sayembara; dan lain sebagainya. Lebih jauh lagi, nyadran di Desa Gempolsewu menjadi alat promosi wisata untuk Pantai Sikucing yang merupakan salah satu penarik devisa andalan pemerintah Kabupaten Kendal.

B. Kontroversi

Selama penelitian, penulis menggali informasi tentang apa yang menjadi latar belakang munculnya pro dan kontra mengenai nyadran di Desa Gempolsewu dan kalangan mana yang terlibat kontroversi. Dari wawancara, penulis berhasil mendapatkan benang merahnya. Akar dari kontroversi itu sebenarnya berawal dari campurnya unsur animisme, hindu, dan Islam dalam ritual inti nyadran dan kemudian melebar ke rangkaian-rangkaian acara yang digelar selama seminggu untuk memeriahkan upacara itu. Kalangan muslim modernis(Muhammadiyah) menolak digelarnya upacara nyadran dan perayaan-perayaan yang menyertainya, sedangkan kalangan muslim tradisionalis
(NU) mendukung.

Bagi mereka yang kontra, nyadran dianggap sebagai pesta hura-hura yang mengambur-hamburkan uang karena dimeriahkan dengan berbagai pertunjukan yang sering tidak ada hubunganya dengan pesan dari ritual nyadran itu sendiri sebagai syukuran. Acara-acara yang seringkali digelar hingga larut malam pun mengundang tanggapan negatif, sebab mereka dianggap memancing kegiatan asusila (seks bebas dan mabuk-mabukan), kriminalitas (pencopetan dan pencurian), dan kekerasan (perkelahian atau tawuran).

Para pemuda Muhammadiyah khususnya memperdebatkan pesta laut itu. Bahkan pernah beberapa kali terlontar himbauan supaya tradisi nyadran dihapuskan. Akan tetapi, para nelayan khususnya tidak menghiraukan larangan yang sifatnya internal itu. Bagi mereka, upacara nyadran merupakan bentuk kebudayaan warisan nenek moyang tidak mudah begitu saja dilarang. Para nelayan menganggap acara nyadran merupakan ritual wajib yang harus dilakukan. Menurut Bapak Ruslan, dalam pelaksanaan nyadran sebagian dari nelayan mengatakan bahwa acara tersebut adalah sumber dari kelancaran rezeki dalam mencari nafkah di laut lepas. Kalangan nelayan jelas sangat meyakininya karena bagi mereka, ada alasan dan tujuan tertentu yang bernuasa spiritual seperti ritual-ritual keagamaan lain.

Menurut sebagian warga desa, pesta laut memberi kemafaatan secara materi maupun rohani. Dengan digelar upacara nyadran, para pedagang mendapatkan rejeki dan penikmat seni pertunjukan memperoleh hiburan yang ditawarkan dari festival-festival yang dilakukan selama seminggu sebelum inti ritual nyadran dilaksanakan.

Namun pihak yang menentang menyatakan bahwa dampak buruk (mudharat) yang ditimbulkan adalah lebih besar dari kemanfaatannya
(mashalahat) sebab penuh takhayul, bid’ah’ dan syirik’ .

Karena kontroversi itu terjadi kesenjangan sosial dalam kehidupan sehari-hari antara para nelayan dan sebagian kalangan masyarakat di Desa Gempolsewu yang tidak menyukai acara tersebut. Jika kalangan muslim modernis (Muhammadiyah) tegas menolak tradisi itu, lain halnya dengan kalangan muslim tradisionalis (NU). NU tidak melarang nyadran karena, seperti yang telah disinggung di muka, tradisi warisan leluhur ini merupakan tanda syukur terhadap Tuhan gaya nelayan.

Bagi mereka, rasa syukur boleh diungkapkan dengan berbagai cara. Bahkan nyadran bisa menjadi syiar Islam seperti yang dilakukan oleh Walisongo dahulu. Menurut sudut pandang NU, jika nyadran dihukumi haram, maka sudah dari dulu dilarang oleh para penyebar Islam di Jawa.. Bagi penulis, terlepas dari sudut pandang keagamaan, sikap kompromis NU Gempolsewu berkaitan erat dengan alasan yang pada dasarnya bersifat ekonomis. Hampir semua nelayan
Desa Gempol Sewu ternyata adalah warga NU, sehingga wajar bila mereka mengambil sikap pro dengan tradisi rakyat itu.

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Setelah mengamati secara menyeluruh tentang tradisi nyadran di Desa Gempolsewu, penulis menarik kesimpulan bahwa pesta laut yang menjadi rutinitas tahunan warga masyarakat pesisir itu merupakan tradisi yang kompleks. Dari sudut pandang agama,
unsur animisme, Hindu, dan Islam menyatu didalamnya. Ini membuktikan bahwa ritual inti nyadran telah mengalami perkembangan yang evolutif sejak Jaman pra Hindu-Buddha hingga jaman Islam.
Selain berfungsi secara spiritual (agama), nyadran ternyata memiliki fungsi sosial, politik, dan ekonomi. Bukan hanya sebagai ritual keagamaan, melainkan juga sebagai pembangun harmoni dalam masyarakat, alat untuk kegiatan politik praktis, dan kesempatan
melakukan aktivitas dagang.

Kontroversi yang muncul adalah berakar dari masalah dasar kenyakinan keagamaaan (akidah). Pihak yang menentang (kalangan Muhammadiyah) mempunyai alasan mereka sendiri menolak tradisi nyadran. Mereka berhujah bahwa tradisi leluhur itu mengandung bid’ah dan syirik sehingga mengancam iman Islam. Pihak Ɣªňҩ memperkenankan (NU) justru melihat tradisi nyadran sebagai alat syiar Islam. Bagi penulis, pro dan kontra tentang masalah ini hanyalah perbedaan dalam sudut pandang dalam melihat kebudayaan lokal, selain tendensi ekonomi yang ada dibelakangnya.

B. Saran

Nyadran atau pesta laut merupakan tradisi pesisiran dan menjadi salah satu kebudayaan inti masyarakat nelayan pantai utara Jawa. Kontroversi yang mengemuka sebaiknya diselesaikan dengan tanpa
kekerasan. Perbedaan dalam berkeyakinan harus dicari inti masalahnya. Jika itu berkaitan dengan cara pandang salah satu agama, maka harus diselesaikan dengan cara keagamaan secara internal. Artinya, jika kalangan Islam berbeda pendapat tentang sebuah tradisi, maka tidak seharusnya tradisi itu dikorbankan.

Seperti yang telah diketahui, tradisi nyadran bukan hanya untuk kalangan Muslim, melainkan milik semua umat beragama yang terlibat dengannya, yaitu warga nelayan dengan latar belakang keagamaan yang berbeda-beda. Penulis mengharapkan agar perbedaan
pendapat yang timbul dari kedua belah pihak segera dimusyawarahkan secara baik-baik agar tidak terjadi kesenjangan sosial dalam bermasyarakat.

Penulis menyadari betul bahwa kontroversi seputar tradisi nyadran ϑȋ̝̊ Desa Gempolsewu seperti api dalam sekam. Sewaktu-waktu ia bisa menyala dan jelas akan menimbulkan keretakan dalam masyarakat. Oleh karena itu, kontroversi ini harus segera diselesaikan. Perangkat desa dan pemerintah daerah harus turun- tangan menjembatan antara pihak yang pro dan yang kontra secara imbang. Dengan cara itu, pemerintah akan mengetahui masalah yang dihadapi masyarakat menyangkut hubungan antara kebudayaan dan agama. lembaga-lembaga kepemerintahan yang mengandung unsur kebudayaan agar dapat memandang masalah ini sungguh-sungguh.

DAFTAR PUSTAKA

    – Ali, Mukti, Metode Memahami Agama Islam,
    Jakarta: Bulan Bintang, 1991
    – ‘’Proposal Pesta Laut 2009, Desa Gempolsewu,
    Kec. Rowosari, Kab. Kendal’’ (dokumen internal)